Ingin membesarkan anak menjadi seorang jenius?

Maung Agus Sutikno
4 min readJun 14, 2020
Aktivitas di dalam dan luar ruangan untuk memvariasikan pengalaman belajar. Photo by Avel Chuklanov on Unsplash

Sebuah riset selama 45 tahun bisa menjawab pertanyaan di atas: anak jenius terjebak di sebuah paradoks Goldilocks oatmeal — mereka menderita jika terlalu “panas” dalam mengasah kemampuan mereka, tetapi jika kita diamkan saja maka bakat mereka sia-sia.

Pada tahun 1971, seorang profesor bernama Julian Stanley mendirikan sebuah program penelitian bernama Study of Mathematically Precocious Youth (SMPY). Sebuah jurnal ilmiah internasional, Nature menyebut program ini merupakan penelitian terlama yang pernah dilakukan untuk melakukan survei kepada anak-anak bertalenta tinggi pada saat itu. Selama 45 tahun penelitian ini mengikuti jejak 5000 anak berbakat dalam mencapai kesuksesan dan bagaimana mereka merubah dunia.

“Suka atau tidak, anak-anak ini adalah orang-orang yang mengendalikan tatanan masyarakat kita,” Jonathan Wai, seorang psikolog di Duke University Talent Identification Program di Durham, North Carolina, dalam wawancaranya dengan Nature. “Anak-anak yang berada dalam 1% teratas menjadi ilmuwan dan akademisi terkenal, CEO dari 500 perusahaan terbesar di Amerika (Fortune 500), hakim federal, senator, dan juga milyarder.”

Hanya sedikit dari anak-anak kita yang mendapatkan nilai bagus di bagian matematika dari sebuah tes SAT (Scholastic Aptitude Test). Mereka tidak hanya berprestasi di matematika: mereka mempunyai analytical reasoning skill yang bagus, yang berarti anak-anak ini tahu bagaimana mengidentifikasi sebuah masalah, menjabarkannya, dan akhirnya memecahkan masalah tersebut — tidak hanya terbatas pada bidang matematika. Seorang psikolog Daniel Keating dari Johns Hopkins University menjelaskan: “Hal pertama yang mengagetkan adalah bagaimana orang dewasa bisa memecahkan soal matematika yang belum pernah mereka temui sebelumnya dalam pekerjaan mereka. Kejutan selanjutnya adalah bagaimana saat anak-anak, mereka mempunyai nilai bagus di atas syarat minimal masuk ke universitas terbaik.”

Ketrampilan lain yang dimiliki anak-anak jenius ini miliki yaitu spatial ability atau pattern thinking. Spatial ability adalah sebuah ketrampilan yang berhubungan dengan kreatifitas dan inovasi. Seorang psikolog lain, David Lubinski menambahkan “Menurut saya, (spatial ability) ini merupakan sumber potensi terbesar manusia yang belum dieksplor lebih lanjut. Murid dengan prestasi yang biasa saja di matematika dan komunikasi, tetapi dengan spatial ability yang bagus, mereka kelak menjadi seorang insinyur, arsitek, dan dokter bedah yang sukses. Tetapi sayangnya tidak ada dari tim penerimaan murid baru di sekolah yang melihat ini, dan secara umum ketrampilan ini tidak diikutsertakan dalam tes seleksi masuk mereka.”

Jadi bagaimana solusinya untuk mendukung anak-anak kita yang kelak menjadi harapan masa depan bangsa? Kenyataannya, kita serahkan mereka ke sistem pendidikan negara kita. Semoga dengan Mas Menteri Pendidikan dengan program-programnya dalam memperbaiki sistem pendidikan Indonesia untuk menjadi lebih baik. Sama halnya program pendidikan negara lain seperti Amerika baru-baru ini tentang bagaimana membantu murid yang mempunyai kesulitan belajar: No Child Left Behind dan diterapkannya Common Core Curriculum. Sementara untuk murid yang tidak mempunyai kesulitan belajar di sekolahnya dan bukan merupakan target dari program-program sejenis ini bisa mendapatkan bantuan dari orang tuan untuk lebih mengembangkan bakat atau talenta mereka.

Terima kasih untuk para orang tua yang menyadari perannya ini. Tetapi untuk bagian yang membahayakan adalah saat orang tua melihat tanda-tanda bakat atau talenta tertentu, dan mereka berusaha membentuk bakat tersebut tanpa melakukan sedikit penelitian untuk mengkonfirmasi apakah benar anak mereka benar-benar berbakat dalam bidang tersebut. Psikolog Alison Gopnik menjelaskan bahwa perilaku orang tua seperti ini tidak hanya membahayakan anak-anak yang dilahirkan dengan bakat, tapi untuk semua anak-anak pada umumnya.

Sebagai solusi alternatif, SMPY merekomendasikan bahwa anak-anak dengan tanda-tanda ketrampilan analytical reasoning dan spatial ability didukung dengan mengikuti kelas Advance Placement, akademi, bahkan diperbolehkan melewatkan beberapa kelas sekolah umum, dikutip dari Nature. Seperti David Lubinski tambahkan, “anak-anak ini tidak membutuhkan sesuatu yang spesial… mereka hanya membutuhkan akses lebih dini untuk mempelajari bidang keilmuwan yang sudah tersedia untuk anak-anak yang lebih tua dari mereka.”

Berikut beberapa tips yang dia rekomendasikan untuk para orang tua untuk mendukung anak-anak mereka, dikutip dari Nature:

  1. Bawa anak-anak ke pengalaman yang berbeda-beda.
  2. Ketika seorang anak memperlihatkan talenta dan kegemaran yang kuat terhadap sesuatu, beri kesempatan untuk mengembangkannya.
  3. Dukung kebutuhan emosional dan intelektual anak-anak.
  4. Kembangkan growth mindset dengan memuji usaha mereka, bukan ketrampilannya.
  5. Dukung mereka untuk mengambil risiko intelektual mereka dengan tetap terbuka untuk kesalahan atau kegagalan yang membantu mereka untuk belajar sesuatu.
  6. Hati-hati dengan label: teridentifikasi mempunyai sebuah bakat bisa membebani anak-anak.
  7. Bekerjasama dengan guru untuk memenuhi kebutuhan mereka. Murid cerdas membutuhkan tantangan, dukungan lebih atau kebebasan untuk belajar sesuai kecepatan mereka masing-masing.
  8. Lakukan tes terhadap bakat anak-anak. Hal ini dapat digunakan orang tua untuk pengembangan lebih lanjut, dan untuk mendeteksi masalah sejak dini seperti dyslexia, ADHD, atau kesulitan emosional dan sosial lain.

Pada dasarnya, anak-anak berbakat berkembang sesuai kecepatan masing-masing. Biarkan saja. Mereka akan baik-baik saja.

Diterjemahkan dari tulisan “Want to raise a child genius? A study running for 45 years has suggestions” oleh Laurie Vazquez di bigtink.com pada tanggal 8 September 2016.

Glossary

Spatial ability: Kapasitas untuk memahami dan mengingat hubungan antara benda dan ruang.
Common core curriculum: Inisiatif NGA dan CCSSO pada tahun 2010 dalam dunia pendidikan Amerika yang mensyaratkan murid untuk menguasai bahasa inggris dan matematika pada tingkatan tertentu sesuai kelas masing-masing.
No child left behind: Undang-undang yang dibuat kongres Amerika pada tahun 2002 yang memberi dukungan lebih untuk murid kurang beruntung.
Advance placement test: Untuk aplikasi di Indonesia merupakan sebuah ujian untuk menentukan jurusan di tingkat universitas. Beberapa orang mmembandingkan Advance Placement (AP) ini dengan International Baccalaureate (BI).

--

--